Agama dan Ruang Publik

Oleh Siti Aminah Rufaidah


Berhadapan dengan berbagai fenomena dan polemik dewasa ini, kebanyakan masyarakat menghadapinya dengan cara negative virtual, mem-posting tulisan di sosial media berbau sarkasme, misalnya. Memang, hal itu muncul dari kegelisahan masyarakat yang risih dengan segala macam polemik, dalam hal ini mengusik kebinekaan sebagai harga mati bangsa. Akan tetapi, sarkasme bukanlah jalan keluar.

Bermodalkan kegelisahan yang kemudian didiskusikan bersama, Rokateater membuat karya pertunjukan berjudul Insiden Mencuci Bau Kencur (IMBK) yang disutradarai oleh Shohifur Ridho’I, sementara Ceng Romli, Doel Rohim, Harik Giarian Prasetya Yudha, Ilham Asep Nawawi, dan Muhammad Shaleh bertindak sebagai penampil. Adapun tata musik oleh Gendra Wisnu Buana, tata cahaya oleh Oong M. Pathor, dan manajer panggung oleh Kurnia Yaumil Fajar.

Pertunjukan yang digelar di bawah pohon Beringin Soekarno, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Minggu, 19 Juni 2017 tersebut ingin menanggapi polemik dengan cara yang lebih humanis, sehingga tidak ada satu-dua pihak atau kelompok yang tersinggung dan nilai-nilai yang disampaikan, selain itu juga dapat memberi kesadaran untuk kemudian direfleksikan bersama.

Pada mulanya, pandangan saya terhadap pertunjukan ini sederhana saja, karena cara penyajiannya yang begitu ringan bahkan dapat dikatakan mengundang banyak gelak tawa, tinggal para penonton mampu atau tidak menangkap makna dari serangkaian adegan yang tersaji dengan bentuk-bentuk nonrealis. Nyatanya tidak, pertunjukan ini mengalami proses panjang dan cukup menguras pikiran tentang bagaimana kegelisahan para seniman ini dan maksud dari serangkaian adegan dapat sampai kepada penonton tanpa menyinggung ideologi kelompok tertentu.

Efek yang ingin disampaikan pertunjukan ini adalah betapa kenyataan kita hari ini sedemikian gaduh. Untuk mengatakan itu, pertunjukan IMBK menggunakan seng yang kemudian dilempar batu dan diinjak-injak, botol air mineral yang dipukul-pukulkan ke kepala, dan suara musik yang cukup menambah kegaduhan.

Setiap adegan dapat mewakili polemik-polemik yang terjadi saat ini. Berawal dari adegan orang yang melakukan aktivitas mencuci baju, melempar seng dengan batu, dan membunyikan sarung dengan memukulkannya ke udara. Adegan-adegan tersebut mencerminkan manusia yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Selanjutnya, adegan mendirikan baliho yang disangga bambu dan ditancapkan di atas pot bunga, kemudian seluruh pemain dalam panggung memuja-muja foto dalam baliho tersebut. Adegan ini seperti menggambarkan kondisi masyarakat yang kukuh akan satu ideologi atau kepercayaan tertentu.

Kemudian, adegan dua orang berdiri tegap dan menatap lurus, sedangkan dua orang lainnya melakukan aktivitas memukul-mukul botol air mineral ke kepalanya masing-masing, lalu memukul ke tubuh dua orang yang berdiri tersebut. Akan tetapi, kedua orang yang dipukul itu tetap tegap berdiri dan dua orang lainnya masuk serta menembak-tembakan pistol air dan gelembung ke sekitar. Enam orang di atas panggung membuat situasi gaduh. Adegan itu menggambarkan orang yang ingin memiliki eksistensi di atas bumi tanpa memiliki pendirian yang cukup kuat akan menyesaki bumi dengan berbagai keramaian tak berarti, dan sangat mudah terprovokasi oleh isu-isu dan keadaan sekitar. Kemudian adegan dua orang duduk di kursi yang saling berhadap-hadapan, dan mereka saling menudingkan telunjuk lalu menangkisnya lalu menudingkannya kembali. Adegan itu saya tangkap sebagai perilaku seseorang yang selalu menyalahkan sesuatu demi kebenaran yang diyakininya. Adegan semua aktor menginjak-injak seng yang sebelumnya dilukis lambang cinta di atasnya sebagai upaya menolak cinta yang masih terbatas pada kelompok ideologi tertentu, bukan untuk semua umat manusia. Makna ini diperkuat dengan adegan saling memeluk oleh seluruh aktor yang terlibat dengan penonton.

Aktor yang terlibat sejatinya tidak semua berasal dari disiplin teater, misalnya Prasetya Yudha yang merupakan seorang fotografer dan Doel Rohim yang merupakan seorang jurnalis. Hal ini merupakan metode kolaboratif, sehingga jelas bahwa kegelisahan tidak hanya dirasakan oleh aktor teater, tapi juga oleh kalangan lain.

Hal menarik dalam pertunjukan ini adalah ketika semua adegan berlangsung, sang sutradara yang juga bermain di panggung membacakan drama Samuel Beckett berjudul Rekaman Terakhir Krapp. Teks itu sulit dipahami mengingat apa yang dibacakan dengan adegan yang dimainkan justru kontradiktif. Karya Beckett ini merupakan karya yang sangat flat. Di dalamnya, ia hanya menggambarkan aktivitas-aktivitas sederhana seperti membuka tutup laci, mengambil kunci, memperhatikannya, memasukkan pisang ke dalam saku, dan seterusnya. Begitu pula polemik-polemik yang kita hadapi yang sejatinya begitu datar dan berlangsung secara reguler, seolah semuanya telah terjadwal. Misalnya, kita akan menyeruakan pentingnya emansipasi wanita saat hari Kartini, atau kita akan menghujat valentine day pada 14 Februari, atau kita akan mengagung-agungkan Ibu saat Hari Ibu, atau kita akan membela NKRI saat dianggap mulai tergerogoti keutuhannya. Pembacaan naskah itu bukan untuk disatukan, melainkan disandingkan dan karenanya pengalaman artistik mampu dicapai.

Siti Aminah Rufaidah, penikmat seni pertunjukan. Mukim di Yogyakarta.