Bagaimana generasi milenial merespon kondisi zamannya yang hari ini termanifestasikan dalam bentuk kegaduhan identitas seperti agama, yang semua kenyataan itu terbentuk dari akumulasi pengalaman sejarah sebelumnya (Orde Baru), hal inilah yang ingin digambarkan oleh Rokateater dalam sebuah pertunjukan teater dengan judul Ultramen Kawat berduri dan kesibukan merindukanmu di Padepokan Seni Bagong Kussudjardja, Yogyakarta.
Masih dengan gaya Rokateater, ekspolorasi tubuh dengan berbagai bentuk gerak yang di dalamnya mengisyaratkan simbol-simbol yang berhungan dengan dialog yang diucapkan oleh para aktor sangat kental. Pertunjukan yang disutradarai oleh Sohifur Rhidho’i ini nampaknya ingin membawa penonton pada lapisan sejarah masa lalu terutama zaman Orde Baru. Menariknya, pertunjukan ini berusaha mencari hal yang kadang tidak disadari oleh kebayakan orang melalui prilaku kesaharian seperti pola komunikasi, konsumsi pengetahuan dari betuk tayangan dan bacaan. Hal ini terlihat dari beberapa dialog yang muncul di panggung.
Memang padatnya percakapan dan jumlah penonton yang membludak membuat peristiwa kurang kondusif, penonton terpaksa harus membuka telinga lebar-lebar dan dengan konsentrasi penuh. Namun, terlepas dari hal tersebut beberapa dialog sangat dapat dipahami maksudnya, apalagi dialog yang mengambarkan prilaku generasi milenial dengan gaya alay dan sedikit centilnya mendapat respon yang baik dari para penonton.
Pada adegan pertama beberapa aktor nampak sibuk dengan perannya masing-masing, para aktor memuculkan dialog yang di dalamnya mengambarkan kondisi yang dialami oleh para aktor, semacam curhat terkait pengalaman-pengalaman masa lalu yang melingkupi kondisi lingkungannya, selain itu dengan balutan emosi yang kuat para aktor juga berusaha mendiskripsikan persoalannya dengan bentuk gerak tubuh yang dimunculkan.
Selanjutnya, beberapa adegan juga terlihat ingin mengambarkan bagaimana pengalaman keseharian mulai dari aturan-aturan dan wacana berbentuk konsensus dari masyarakat dan konsumsi film yang selalu direproduksi terus menerus, yang ternyata hari ini menciptakan pengalaman traumatik yang kadang tidak disadari membentuk mentalitas generasi milenial. Secara materil hal ini bisa dilihat dari bagaimana generasi milenial bersikap dan mempunyai prespektif terkait dirinya dan lingkungan sekitarnya. Beberapa bentuk adegan yang diperankan oleh Ceng Romli mengambarkan karakter Ultraman menjadi bentuk kepahlawanan yang masif dikonsumsi anak generasi milenial saat itu, sehingga meciptakan pemahaman hingga saat ini, bahwa pahlawan selalu diidentikan dengan sesuatu yang besar, tidak pernah salah, dan berbagai citra lainya.
Tidak hanya membicarakan bagaimana pengalaman masa lalu diframing dengan pola pikir kekinian, pementasan ini juga menggambarkan bagaimana politik identitas menjadi suatu bentuk eksistensi baru terutama dari konteks praktik keagamaan. Ini terlihat dari adegan salah satu aktor yang mengunakan kostum jubah berwarna putih dengan celana pendek yang digunakan. Pada adegan ini sang aktor berusaha melakukan dialog dengan penonton, dengan identitas agama yang digunakan ia mengambarkan bagaimana pengunaan baju keren menjadi prasarat untuk masuk surga. Dengan gaya stand up comedy, adegan ini membuat penonton tertawa lepas.
Pertunjukan ini ingin menunjukan bagaimana kegaduhan yang muncul belakangan ini, terutama yang berkaitan dengan identitas agama yang cukup mencuri perhatian anak muda urban. Walaupun dengan respon yang berbeda-beda, ada yang cenderung aktif sehingga mengikuti logika massa yang ada, tetapi ada juga yang berprilaku bodo amat terkait kondisi yang sedang terjadi.
Pertunjukan yang diperankan oleh empat aktor ini bisa dikatakan berbentuk sangat minimalis, seperti properti yang digunakan hanya ada dua kursi dan empat karpet dengan warna merah, kuning, biru, dan hijau. Sesuai dengan isu yang diangkat, konsep minimalis nampaknya untuk menggambarkan struktur wacana yang berkembang hari ini yang mengedepankan efektiftas dan efisiensi yang mempengaruhi cara pandang generasi milenial hari ini. Selain itu, konsep minamalis juga terlihat dari cahaya yang terlihat, tidak banyak lampu dengan warna mencolok.
Secara umum pertunjukan ini memiliki kelebihan dari pembentukan wacana yang begitu kuat dan kontekstual. Tetapi secara detail bentuk pertunjukan, apalagi bagi penikmat teknis yang teliti masih ada beberapa bentuk yang masih perlu diperbaiki. Seperti halnya volume suara setiap aktor yang sering kali tidak stabil karena gerakan-gerakan yang dilakukan tampak menguras energi aktor. Dan yang jelas penonton dibuat mengerutkan dahi di setiap adegannya karena bentuk simbolik yang muncul sangat variatif dan sekilas tampak tidak terstruktur.
Yang jelas dalam pementasan ini adalah hasil dari projek lanjutan dari projek sebelumnya yang sempat dipentaskan di Universitas Sanata Darma beberapa bulan sebelumnya dengan judul, Insiden Mencuci Bau Kencur. Dalam proses itu, sutradara berusaha menangkap kondisi kegaduhan identitas keagamaan yang sempat menyedot perhatian massa. Tidak jauh beda dengan pementasan Ultraman, Kawat Berduri, danKesibukan Merindukanmu secara wacana, tetapi yang kali ini nampaknya sutrdara berusaha mencari sesuatu yang lebih esensial dari prilaku manusia dari sudut pandang psikologi massa.
Doel Rohim, penikmat seni pertunjukan. Tinggal di Yogyakarta.