Kuasa Negara dan Ingatan Tak Bertuan

Oleh Eka Putra Nggalu


Ingatan saya yang paling jelas tentang pertunjukan Passport, Passphoto karya Rokateater pada perhelatan Jakarta Teater Platform 2018, 21 September 2018, di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta, pertama-tama berasal dari sensasi-sensasi yang saya alami selama pertunjukan berlangsung. Sensasi-sensasi itu saya temukan sepanjang interkasi saya dengan ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang yang kebingungan. Kebanyakan dari orang-orang bingug itu mungkin datang dengan intensi melihat sebuah pertunjukan teater yang sarat dengan olahan-olahan artistik, menghibur, dan memberi kepuasan katarsis pada hasrat estetis mereka. Namun, yang kemudian mereka dapati adalah sebuah studio foto dengan segala perlengkapan, aktivitas, dan instruksi yang hampir menyerupai studio foto yang bisa dijumpai dimana saja. Konstruksi studio foto ini, secara tidak langsung dengan sedikit paksaan, mengganggu kebebasan mereka, meresistensi disposisi mereka yang mungkin nyaman dengan status penonton teater prosenium atau yang lazim terjadi di gedung pertunjukan, dan menuntut mereka menjadi konsumen studio foto, merelakan diri mereka ‘digandakan’ secara visual dalam bentuk pasfoto, mungkin tanpa mereka pahami secara penuh sejak awal, apa maksud dari semua yang mereka alami itu.

Intensionalitas di Ruang Studio Photo

Pertunjukan Passport, Passphoto seolah menyalin dramaturgi studio foto pada umumnya. Dengan penjelasan ini, kita bisa dengan mudah membayangkan konsep dan alur pertunjukan tersebut. Medan bermain dirancang dalam konsep studio foto. Ada meja kasir, ada kamar ganti ada latar foto, ada tempat untuk editor foto, ada supervisor studio (semacam bos yang mengontrol jalannya alur aktivitas di studio foto), ada ruang tunggu, dan ada pengunjung atau konsumen. Alur pertunjukan ditentukan oleh supervisor studio tadi, dari masuk ke dalam studio, menuju arsip-arsip foto, mengambil nomor antrian, menunggu, mendapat giliaran foto, menunggu lagi hingga foto selesai dicetak, membayar dan mengambil foto yang sudah selesai dicetak, lalu selesai (selanjutnya diputuskan sendiri oleh konsumen).

Dari konsep dramaturgi yang coba dibangun, pertunjukan ini secara sengaja atau tidak telah menyebar banyak sekali pintu untuk masuk ke dalam ide yang coba dibicarakannya. Teks disebar di seluruh ruangan, di tiap-tiap spot yang dikonsepkan untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu sesuai pilihan dramaturgi. Secara umum, tidak ada dinamika yang luar biasa sepanjang aktivitas-aktivitas dalam studio foto. Meski demikian, keseluruhan aktivitas seturut instruksi yang lantas membentuk alur pertunjukan ini adalah semacam langkah-langkah untuk sebuah proses intensionalisasi yang sengaja dibentangkan untuk dilalui oleh setiap partisipan dalam pertunjukan ini. Proses intensionalisasi ini yang hemat saya menjadi kualitas yang secara optimal diusahakan agar antar partisipan, maupun partisipan dengan seluruh gagasan pertunjukan ini bisa saling menemui satu sama lain dan bertemu.

Beberapa penonton yang pulang sejak awal memperlihatkan resistensi tertentu, entah pada keseluruhan wujud visual pertunjukan ini, atau pada instruksi (yang bagi saya menjadi intervensi menjengkelkan bagi kebebasan mereka) yang mengharuskan penonton terlibat penuh dalam setiap alur dalam pertunjukan. Beberapa penonton yang bertahan memperlihatkan ambiguitas yang menarik. Keterlibatan aktif mereka mengharuskan mereka menempatkan diri dalam dua disposisi sekaligus. Sebagai penonton yang ingin melihat seluruh pertunjukan dengan lensa yang luas, sekaligus aktor yang turut membangun peristiwa dalam pertunjukan dengan interaksi-interaksi spesifik yang relevan dengan konsep studio foto yang sedang dimainkan. Interkasi itu terlihat antara lain melalui percakapan-percakapan dengan petugas-petugas studio foto, tindakan-tindakan seturut instruksi dan kondisi semisal melihat-liihat foto di tempat arsip, menyentuh foto, menata busana sebelum foto, bercakap dengan pengunjung studio yang lain dan sebagainya.

Medan yang paling kuat, tempat seluruh wacana tentang studio foto, ide pertunjukan dan perspektif-perspektif penonton saling bertemu, terbentuk di sekitar aktivitas pemotretan. Di situ, percakapan berlangsung dengan bebas. Ambiguitas partisipan pertunjukan, sebagai penggagas ide pertunjukan sekaligus performer, penonton sekaligus performer bercampur baur dalam ragam teks, entah percakapan verbal, wujud visual, maupun aktivitas-aktivitas motorik. Mulai dari hal remeh-temeh dengan sedikit acting seperti bertanya kabar, hingga diskusi kristis tentang ide pertunjukan antara partisipan-penonton dengan partisipan-penggagas pertunjukan. Para partisipan lain, dengan disposisi sebagai penonton sekaligus para konsumen yang sedang berada di ruang tunggu, bisa menyaksikan interaksi di sekitar area pemotretan tersebut. Bagi saya, peristiwa ini menjadi puncak proses intensionalisasi dalam ruang studio foto yang dibangun dalam keseluruhan pertunjukan.

Proses intensionalisasi yang berlangsung dari tahap ke tahap dalam pertunjukan ini menjadi menarik sekaligus signifikan karena intensionalitas, bagi subjek yang mengalaminya, tidak melulu berhubungan dengan proses mengenal, tetapi lebih dari pada itu, menjadi sebuah proses bereksistensi. Dalam fenomenologi persepsi, intensionalitas yang berlangsung melalui persepsi-persepsi dan kemudian membentuk kesadaran tidak semata-mata bertujuan agar subjek mengenali satu objek tertentu, tetapi lebih dari pada itu agar subjek dapat melihat dirinya dalam keseluruhan realitas, dan menempatkan dirinya dalam relasi intersubjektif dengan temuan-temuan sepanjang pengalamanya. Jalan-jalan dan pintu masuk yang terbentang dalam keseluruhan ruang studio foto dalam pertunjukan Passport, Pasphoto adalah sebuah tawaran bagi subjek-subjek partisipan untuk mengalami ambiguitas dirinya, mengenali dunia seperti apa yang sedang ia alami melalui ragam perjumpaan, pertemuan, interaksi, wacana yang dibahas, yang membentuk persepsi-persepsi, hingga pada akhirnya ia dapat menentukan disposisi dirinyanya dalam seluruh keanehan yang berlangsung. Keberanian dan kesadaran memilih cara bereksintensi ini juga yang paling tidak coba dirangsang oleh Rokateater lewat pilihan dramaturgi dan artistik dalam pertunjukan Passport, Pasphoto. Sekurang-kurangnya, melalui intervensi, resistensi, dan intensionalisasi yang coba dibangun dalam pertunjukan ini, Rokateater ingin menghantar seluruh partisipan kepada refleksi atas kegelisahannya mengenai tegangan antara identitas personal warga dengan kontrol negara terhadapnya (panoptikon) yang mewujud melalui praktik dan arsip-fisik passfoto.

Persoalan Identitas dan Resistensi Terhadap Negara

Rokateater melihat pasfoto sebagai cara seseorang berada di wilayah radar ‘kekuasaan’, dengan kata lain, ia juga merupakan bentuk ‘pendisiplinan’ warga negara. Melalui pas foto, info personal dapat terarsipkan dan secara tidak langsung warga mengakui kehadiran kekuasaan tersebut. Sementara itu, subjek fotografer/juru foto/tukang foto di sini bisa dilihat sebagai aparatus visual dan patuh dengan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh institusi negara. Indikasi kepatuhan ini terlihat dari ukuran foto, warna background, dan gestur tubuh tegak dan senyum datar. Studio foto menjadi semacam ruang eksekusi di mana data visual kita diserahkan. Sementara juru foto selain memiliki kekuasaan dalam mengatur ‘objek’ yang dipotretnya, juga sebagai rezim aparatus wacana dimana praktik panoptik dijalankan melalui lensa dan studio. Dan pada momen itulah kita segera berada dalam sistem atau radar kekuasaan.

Pertanyaan yang menghantui saya berhadapan dengan ide pertunjukan ini antara lain: seberapa signifikankah resistensi terhadap kontrol negara itu? Apakah tujuan dan proyeksi dari resistensi itu? Apakah dengan adanya resistensi, kita kemudian dapat hidup atau setidaknya dapat membayangkan sebuah kehidupan dalam vakum negara (bentuk hiperbola dari kehidupan tanpa penataan dari negara)?

Sebagaimana halnya negara adalah sebuah konstruksi sosial, identitas pada dasarnya juga adalah sebuah proses konstruksi. Identitas tidak terbentuk secara alamiah, melainkan warisan panjang sejarah. Identitas berangkat dari proses identifikasi, perubahan ke diskursus, formasi pengetahuan tertentu, penguatan kontrol, dan resistensi yang saling berkaitan satu sama lain dalam sebuah dialektika terus menerus. Identitas karena itu menjadi alat negosiasi antara orang-orang, personal-personal, dengan konteks sosialnya, dalam perspektif pertunjukan ini, dengan negara. Identitas bisa juga menjadi alat kompromi hingga manipulasi warga negara terhadap negara sebagai otoritas. Bagi warga negara, identitas bisa saja menjadi strategi dengan cara bagaiamana seorang warga negara dapat dikenali oleh otoritas negara: sebuah strategi mengelabuhi sistem untuk merawat eksistensi.

Salah satu spot yang menjadi pintu masuk bagi proses intensionalisasi partisipan pertunjukan dengan keseluruhan pertunjukan terletak pada tumpukan-tumpukan foto yang diambil dari Nyoo Studio, Jember. Saya tak terlalu setuju menyebut tumpukan-tumpukan foto itu sebagai arsip. Alasannya persis seperti yang disadari oleh Rokateater: foto-foto ini tidak disusun berdasarkan kategori tertentu, untuk keperluan dokumentasi tertentu, oleh institusi tertentu. Foto-foto ini semacam tumpukan material yang terlepas dari sejarahnya. Ia semacam ingatan-ingatan tak bertuan. Artefak bisu yang punya potensi membangkitkan narasi tertentu, dalam konteks personal dan/atau sosial. Bagi Rokateater, tumpukan foto yang tak terkategorisasi ini semacam resistensi terhadap praktik panoptikon dari negara terhadap para warga negara.

Bagi saya yang menjadi resistensi dalam pertunjukan ini bukanlah sistem pengarsipan tanpa kategori yang ada di Nyoo studio Kalisat, yang coba dibangun kembali di studio pertunjukan Passport, Passphoto. Resistensi sebenarnya terjadi ketika proses intensionalisasi terjadi antara Passport, Passfoto sebagai pertunjukan bersama segala konsepnya dengan para partisipan yang mengalami pertunjukan ini. Resistensi terjadi ketika orang-orang berusaha mengidentifikasi foto-foto anonim dengan pengalaman-pengalaman mereka, dengan persepsi-persepsi mereka. Dialog antara foto-foto itu dengan orang-orang yang melihatnya, tidak semata-mata tertuju pada penemuan kebenaran tertentu. Masing-masing tetap memiliki kuasa atas wacana sejarahnya sendiri. Foto-foto tetap menjadi foto-foto yang anonim. Dan kesan-kesan serta ingatan yang dibangkitakan oleh foto-foto itu tetap menjadi milik orang-orang yang mengalaminya. Ada yang melihat arsip foto yang sama sekali tak ia kenali, lantas membangkitkan kenangan afeksional akan orangtuanya yang sudah meninggal. Ada yang melihat foto, kemudian menjadi geram karena itu mengingatkannya pada mertua yang kejam. Resistensi terjadi ketika proses intensionalisasi itu membangun kesadaran seseorang tentang eksistensinya dalam konteks tertentu.

Seluruh konstruksi pertunjukan Passport, Passphoto menuntut adanya proses intensionalisasi, seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya. Proses intensionalisasi itu secara tegas menunjukan bahwa pengenalan kita selalu bersifat perspektif. Ketika seseorang melihat rumah, bisa jadi ia hanya melihat satu sisi dari rumah saja. Ketika ia melihat foto, ia hanya melihat perspektif tertentu dari foto yang ia amati. Dengan demikian intensionalitas menolak adanya kebenaran absolut, kontrol tunggal yang mengerangkakan sebuah wacana tertentu. Intensionalitas pun menolak logika pengenalan dengan kategorisasi tertentu. Sebab logika itu semata-mata mengkonsturksi perjumpaan dengan yang lain sebagai sebuah proses objektivikasi. Intensionalitas tidak berhenti pada pengenalan (identifikasi) melainkan eksistensi: bagaiamana individu melihat dirinya dalam dunia dan bagaimana dunia berada dalam jangkauan individu.

Pengalaman berada dalam studio foto Passport, Passphoto adalah pengalaman melihat ambiguitas para partisipan mengidentifikasi diri mereka sebagai penonton atau pelaku yang perlu berinterkasi secara relevan dengan tuntutan-tuntutan dramaturgi pertunjukan. Ambiguitas dan proses pengenalan sebagai bagian dari intensionalisasi ini kemudian memantik kesadaran para partisipan untuk menentukan cara ia hadir dan berada dalam pertunjukan yang berlangsung cukup lama dan mungkin agak membosankan ini. Jika Rokateater punya kegelisahan dengan kontrol negara melalui proeses identifikasi berdasarkan kategori-kategori tertentu, mislanya yang nyata dalam urusan-urusan administrasi kependudukan, pertunjukannya justru menjadi semacam simulasi kecil untuk refleksi yang lebih dalam, bahwa negara boleh-boleh saja mengatur para warga lewat pengenalannya terhadap identitas yang diserahkan warga secara sukarela berdasarkan tuntutan negara. Namun, yang lebih penting dari semua itu adalah setiap warga negara selalu punya kesempatan untuk menentukan cara ia berkesistensi, cara ia berada dalam negara, dengan negosiasi-negosiasi dan resistensi-resistensi berdasarkan pengenalan, persepsi dan kesadaran yang ia bangun terhadap negara.

Resistensi penting sebagai penolakan atas sikap otoritas negara yang menganganggap kekuasaan negara bersifat absolut. Resistensi diproyeksikan pada kendali-kendali negara terhadap hak-hak warga untuk mengaktualisasi diri, bereksistensi. Tujuan utama dari resistensi adalah membangun rasionalitas publik dan kesadaran bahwa negara harus menjamin esksistensi setiap warga negara, baik secara personal-individual maupun dari golongan, kelas, dan kelompok sosial manapun. Resistensi harus selalu terarah pada kepentingan publik, kebaikan bersama. Resistensi tidak serta merta menghendaki penghapusan negara. Resistensi berakar pada tuntutan pada negara untuk terus-menerus berdialektika dengan situasi dan konteks kehidupan warga yang senantiasa berubah.

Passport, Passphoto adalah sebuah simulasi untuk mengaktivasi partisipasi politik warga negara. Seperti halnya proses intensionalisasi dalam keseluruhan pertunjukan ini mensyaratkan partisipasi aktif para partisipan, pilihan kita berkeksistensi dalam negara mensyaratkan partisipasi aktif kita sebagai warga negara. Lebih jauh, negosiasi dan resistensi hanya bisa aktif dan efektif jika warga negara terlebih dahulu sadar akan eskistensinya dalam relasi dengan sistem yang dibangun oleh negara. Dengan demikian, sangat mungkin kita menuntut negara memperlakukan arsip-arsip visual dan dokumen-dokemen tekstual yang ada di laci-laci kantor pemerintahan, atau dalam bentuk sistem penyimpanan apapun, tidak sebagai ingatan-ingatan tak bertuan, tetapi pengingat akan tuan-tuan yang harus dilayani seumur hidupnya. Bukankah untuk itu negara ada?

Eka Putra Nggalu, bergiat di Komunitas KAHE, Maumere, NTT