Tulisan ini merupakan sari dari diskusi dan peluncuran zine Sandi/Wara yang telah berlangsung pada hari Minggu, 17 Mei 2020, pukul 20.00-23.00 WIB, di aplikasi Zoom Meeting. Seluruh teks ini ditulis oleh Riyadhus Shalihin, salah satu redaksi Sandi/Wara sekaligus moderator pada diskusi tersebut. Tulisan ini merupakan upaya menata dan menyusun apa-apa yang tertangkap, dan mengabaikan yang […]
Pertunjukan ‘Otobiografi’ dari rokateater, Yogyakarta, menunjukkan skema kerja yang mendialogkan riset dengan retrospeksi diri. Kesenian Kethek Ogleng ditafsir sebagai teks migrasi dari ranah semantik elit ke lanskap seni rakyat.
Passport, Passphoto adalah sebuah simulasi untuk mengaktivasi partisipasi politik warga negara. Seperti halnya proses intensionalisasi dalam keseluruhan pertunjukan ini mensyaratkan partisipasi aktif para partisipan, pilihan kita berkeksistensi dalam negara mensyaratkan partisipasi aktif kita sebagai warga negara.
Afrizal wrote for the avant-garde Teater Sae in the 90’s, producing works such as ‘Pertumbuhan Di Atas Meja Makan’ (Things Growing On The Dining Table) and ‘Biografi Yanti Setelah 12 Menit’ (The Biography of Yanti after 12 Minutes). It has been said that Afrizal’s works were a reflection of the increasing state-jargonisation, bureaucratisation and militarisation of Bahasa Indonesia during Suharto’s late New Order era; ultimately there was very little substantive difference between the mind-constricting gibberish in Indonesian public discourse and the slogans and non sequiturs Afrizal was putting on stage.
Arsip foto di Nyoo Studio di Kalisat menjadi medium dalam menampilkan teater. Studio foto legendaris ini dipilih karena memiliki ribuan arsip tak berkategori. Arsip-arsip tanpa data tersebut dibiarkan saja bertumpuk di sejumlah sudut studio. Ada sekitar 29 ribuan arsip Nyoo Studio yang ditampilkan.
Pementasan ini menggambarkan bagaimana politik identitas menjadi suatu bentuk eksistensi baru terutama dari konteks praktik keagamaan. Ini terlihat dari adegan salah satu aktor yang mengunakan kostum jubah berwarna putih dengan celana pendek yang digunakan. Pada adegan ini sang aktor berusaha melakukan dialog dengan penonton, dengan identitas agama yang digunakan ia mengambarkan bagaimana pengunaan baju keren menjadi prasarat untuk masuk surga.
Ketika Indonesia sangat berisik dengan fakta-fakta seputar isu identitas, radikalisme, dan keagamaan, pentas taeter berjudul Insiden Mencuci Bau Kencur muncul dengan kesejukan. Pentas tersebut menggali narasi lain tentang kehidupan dan kegaduhan kontemporer manusia saat ini. Terutama mengenai ibadah, agama, penghambaan pada seseorang/isme tertentu, hingga pola komunikasi.
Setiap adegan dapat mewakili polemik-polemik yang terjadi saat ini. Berawal dari adegan orang yang melakukan aktivitas mencuci baju, melempar seng dengan batu, dan membunyikan sarung dengan memukulkannya ke udara. Adegan-adegan tersebut mencerminkan manusia yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Shohifur Ridho’i hampir 90 persen melakukan kerja koreografi dalam pertunjukannya. Berisiko menenggelamkan kodifikasi tema-tema adegan yang kehilangan referennya. Sebagian aktor awalnya memerankan semacam kesaksian fotografis, seperti seorang aktor perempuan berjilbab duduk di kursi, di tengah panggung, dan sapu lidi diacungkan.
Pertunjukan dibuka dengan sorot lampu yang mengarah pada sebuah meja panjang. Meja bertaplak putih terletak di tengah panggung. Pada beberapa adegan meja panjang itu digeser dari panggung.
Sebuah post-teater modern Indonesia. Bahwa teater Indonesia tidak ada dalam arti platform yang harus diikuti. Yang ada adalah berbagai kemungkinan teater yang digali dalam lingkungan lokalitas dengan mata rantai budaya masing-masing sebagai laboratorium utamanya