Review/
Ulasan
Riyadhus Shalihin
Beberapa arsiran percakapan yang bisa kami lihat dalam pertemuan antar penulis, pembaca dan editor Sandi/Wara adalah perluasan dari apa yang bisa kita kenali sebagai performatifitas, atau hubungannya dengan situasi sehari-hari: peristiwa. Pada dekade 1970-an, D.A Peransi menegaskan bahwa karya seni telah dilepaskan dari abstraksi yang mengurungnya, menjadi kenyataan sebagaimana kenyatan lain yang mengelilingi kita. Teater, tari, seni rupa akhirnya menjadi sejajar di dalam satu garis horizon percakapan.
Benny Yohanes
Pertunjukan ‘Otobiografi’ dari rokateater, Yogyakarta, menunjukkan skema kerja yang mendialogkan riset dengan retrospeksi diri. Kesenian Kethek Ogleng ditafsir sebagai teks migrasi dari ranah semantik elit ke lanskap seni rakyat. Sutradara Shohifur Rido’i menawarkan tafsir asimetris terhadap konten naratif dari teks sumbernya (Ramayana dan Kisah Panji) dan depersonifikasi atas tokoh Anoman, yang secara ikonik merupakan identifikasi utama bagi seni Kethek Ogleng itu.
Eka Putra Nggalu
Passport, Passphoto adalah sebuah simulasi untuk mengaktivasi partisipasi politik warga negara. Seperti halnya proses intensionalisasi dalam keseluruhan pertunjukan ini mensyaratkan partisipasi aktif para partisipan, pilihan kita berkeksistensi dalam negara mensyaratkan partisipasi aktif kita sebagai warga negara. Lebih jauh, negosiasi dan resistensi hanya bisa aktif dan efektif jika warga negara terlebih dahulu sadar akan eskistensinya dalam relasi dengan sistem yang dibangun oleh negara. Dengan demikian, sangat mungkin kita menuntut negara memperlakukan arsip-arsip visual dan dokumen-dokemen tekstual yang ada di laci-laci kantor pemerintahan, atau dalam bentuk sistem penyimpanan apapun, tidak sebagai ingatan-ingatan tak bertuan, tetapi pengingat akan tuan-tuan yang harus dilayani seumur hidupnya. Bukankah untuk itu negara ada?
Alfian Sa'at
The risk in turning such material into performance is that while these comments might be performative online (there is an audience of readers one is trying to convince, impress, persuade etc), this does not always translate into riveting performance. Dramaturgy then relies so much on finding a shape to the arguments, the rises and swells (where the points made are seemingly diametric, irreconcilable) and the falls and pauses (the momentary truce, the calm before the storm). Or maybe that could be the whole point—to bombard the audience with voices that become increasingly repetitive, frenzied, and even meaningless; where no matter how sincere, how heartfelt, the sheer volume of online ‘discourse’, the unbridled graphomania, turns everything into digital slush.
Pascal S Bin Saju
Passport, Passphoto yang dipentaskan dalam pergelaran Jakarta Teater Platform di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (21/9/2018), di luar ekspektasi sebagian besar penonton. Beberapa penonton menunjukkan ekspresi heran ketika memasuki ruangan pementasan. Alih-alih disuguhi pertunjukan, penonton justru terlibat aktif dalam pementasan.
Tidak ada panggung dan tribun di tempat pementasan yang berukuran sekitar 7 meter x 8 meter itu. Ruangan diset seperti studio foto: ada meja pendaftaran, kursi tunggu, kamar pas, ruang pengambilan foto lengkap dengan peralatannya, serta tempat penyuntingan dan percetakan foto.
Doel Rohim
Tidak hanya membicarakan bagaimana pengalaman masa lalu diframing dengan pola pikir kekinian, pementasan ini juga menggambarkan bagaimana politik identitas menjadi suatu bentuk eksistensi baru terutama dari konteks praktik keagamaan. Ini terlihat dari adegan salah satu aktor yang mengunakan kostum jubah berwarna putih dengan celana pendek yang digunakan. Pada adegan ini sang aktor berusaha melakukan dialog dengan penonton, dengan identitas agama yang digunakan ia mengambarkan bagaimana pengunaan baju keren menjadi prasarat untuk masuk surga. Dengan gaya stand up comedy, adegan ini membuat penonton tertawa lepas.
Isma Swastiningrum
Ketika Indonesia sangat berisik dengan fakta-fakta seputar isu identitas, radikalisme, dan keagamaan, pentas taeter berjudul Insiden Mencuci Bau Kencur muncul dengan kesejukan. Pentas tersebut menggali narasi lain tentang kehidupan dan kegaduhan kontemporer manusia saat ini. Terutama mengenai ibadah, agama, penghambaan pada seseorang/isme tertentu, hingga pola komunikasi.
Siti Aminah Rufaidah
Pada mulanya, pandangan saya terhadap pertunjukan ini sederhana saja, karena cara penyajiannya yang begitu ringan bahkan dapat dikatakan mengundang banyak gelak tawa, tinggal para penonton mampu atau tidak menangkap makna dari serangkaian adegan yang tersaji dengan bentuk-bentuk nonrealis. Nyatanya tidak, pertunjukan ini mengalami proses panjang dan cukup menguras pikiran tentang bagaimana kegelisahan para seniman ini dan maksud dari serangkaian adegan dapat sampai kepada penonton tanpa menyinggung ideologi kelompok tertentu.
Afrizal Malna
Adegan ’’Perjamuan Terakhir’’ Yesus telah berganti dengan perjamuan terakhir seorang kiai dengan santri-santrinya. Tetapi, yang mereka santap dalam perjamuan itu tulangbelulang dan tengkorak sapi. Adegan tersebut, yang dibekukan sebagai artefak fotografis di panggung, menjadi pembuka dan penutup pertunjukan. Hampir sepanjang pertunjukan, musik menjalankan fungsi direksi terhadap alur. Kadang musik berubah atau menjadi noise dengan masuknya unsur percakapan beberapa orang dalam bahasa Madura. Tampaknya, suara percakapan itu merupakan satu-satunya media yang digunakan sebagai dokumentasi bahwa pertunjukan dilakukan melalui riset.
Abdul Malik
Shohifur Ridho’i, sutradara pementasan Masegit, menguraikan bahwa tulang sapi berasal dari salah satu gagasan Suvi Wahyudianto, seniman terlibat Masegit yang fokus pada penciptaan seni rupa. Suvi membawa karya rupanya yang berjudul Setinggil untuk dimasukkan ke dalam Masegit. Menurut Suvi, posisi sapi di dalam kehidupan masyarakat Madura sangat penting, terutama bagaimana sapi menjadi simbol dari relasi kuasa di dalam gelaran karapan sapi dan sapi sono’. Tulang sapi dihadirkan untuk memberi sentuhan magis bahwa pada akhirnya (daging-daging) sapi berakhir di dalam tubuh manusia (menjadi hidangan), atau dengan kata lain, manusia adalah kuburan sapi-sapi.
Mohammad Tohir
Dalam The Last Supper kali ini, bukan Yesus yang tengah berdiri dikelilingi para pengikutnya di sana, melainkan seorang kiai yang dikelilingi para santrinya. Dan bukan makanan dan anggur yang tersaji di meja perjamuan, melainkan tulang belulang dan tengkorak sapi, binatang yang begitu dekat dengan masyarakat Madura.