“Passport, Passphoto” dan Arsip Tanpa Kategori

Oleh Pascal S Bin Saju


JAKARTA, KOMPAS — Dalam pertunjukan teater selama ini, pemain dan penonton dipisahkan oleh pentas dan tribune. Namun, Rokateater dari Yogyakarta melalui karya mereka, Passport, Passphoto, menghapus batas itu. Pemain dan penonton berbaur menciptakan dialog natural dalam kehidupan sehari-hari.

Passport, Passphoto yang dipentaskan dalam pergelaran Jakarta Teater Platform di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (21/9/2018), di luar ekspektasi sebagian besar penonton. Beberapa penonton menunjukkan ekspresi heran ketika memasuki ruangan pementasan. Alih-alih disuguhi pertunjukan, penonton justru terlibat aktif dalam pementasan.

Tidak ada panggung dan tribun di tempat pementasan yang berukuran sekitar 7 meter x 8 meter itu. Ruangan diset seperti studio foto: ada meja pendaftaran, kursi tunggu, kamar pas, ruang pengambilan foto lengkap dengan peralatannya, serta tempat penyuntingan dan percetakan foto.

Sejumlah penonton yang kecewa putar balik meninggalkan pementasan. Beberapa di antaranya mengikuti dengan canggung. Namun, tidak sedikit pula yang menikmati prosesnya.

Pementasan menghadirkan latar Nyoo Studio, studio foto legendaris dari Kecamatan Kalisat, Jember, Jawa Timur, yang membuka cabang di Jakarta. Studio cabang Jakarta buka pukul 17.00-21.00. Ada lima pegawai yang bekerja di sana, yaitu dua juru foto, penyunting, tukang gunting, dan penunggu tempat pendaftaran.

Ketika studio pertama kali dibuka, pengunjung langsung melebihi kapasitas. Kursi di ruang tunggu hanya tersedia 16 buah. Pengunjung yang tidak kebagian kursi terpaksa berdiri atau memilih-milih konsep foto yang akan dipakai di meja arsip. Sesekali juru foto menjelaskan kepada pengunjung tentang arsip tanpa data milik Studio Foto Nyoo sejak tahun 1930-an.

”Di sana ada Mbak Nia sama Mas Ridho, untuk mengisi formulir. Silakan diisi. Nanti saya panggil satu-satu,” kata juru foto kepada puluhan pengunjung.

Pengunjung yang dipanggil bersiap-siap di kamar pas. Sementara yang lain ada yang duduk di ruang tunggu, ada pula yang memilih-milih konsep di meja arsip.

Di awal-awal pementasan, akting pengunjung terlihat canggung. Namun, seiring berjalannya pementasan, pengunjung mulai mengikuti ritme para pemain. Jawaban-jawaban dari pengunjung mencair. Perkakas di kamar pas, seperti kaca, sisir, bedak, kemeja, jas, dan dasi, mulai dipergunakan.

”Buat (mendaftar jadi) timses (tim sukses pemilihan presiden),” jawab seorang pengunjung ketika ditanya juru foto terkait dengan tujuan membuat pas foto.

Pengunjung melihat-lihat arsip foto yang akan dijadikan konsep pengambilan pas foto pada pementasan Passport, Passphoto dari Rokateater (Yogyakarta) di Jakarta, Jumat (21/9/2018).

Sutradara Passport, Passphoto Shohifur Ridho’i mengatakan, dalam pementasan berdurasi empat jam ini, Rokateater mencoba menghadirkan realitas yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. ”Kadang realitas itu lebih mengagumkan daripada pertunjukan itu sendiri,” kata Ridho.

Pementasan ditampilkan secara natural sebagaimana suasana di kehidupan sehari-hari. Ketika azan Maghrib berkumandang, juru foto yang beragama Islam digantikan oleh rekannya yang non-Muslim.

Dalam pementasan juga tidak ada batas antara pemain dan penonton. Pengunjung tidak ditempatkan sebagai penonton, tetapi sebagai warga atau publik yang dilibatkan dalam cerita.

Pemain bertindak sebagai pegawai studi foto, sedangkan penonton sebagai pengguna jasa studio. Dialog antara pemain dan penonton terbangun begitu saja. Batasan antara akting dan bukan akting menjadi buram.

Menurut Ridho, format yang ditampilkan merupakan bentuk estetika pemanggungan yang lain. ”Menampilkan akting kenyataan sehari-hari. Tidak dilebih-lebihkan. Suara tidak harus keras, kecil-kecil saja. Orang dengar atau tidak, tidak apa-apa. Memang begitu kenyataan-kenyataan yang tidak perlu disangat-sangatkan,” ujarnya.

Ridho memaklumi jika ada penonton yang heran atau tidak menyukai pementasan Passport, Passphoto. Ini menunjukkan tradisi menonton yang ada di tengah masyarakat. Ketika disuguhkan format yang jarang ditunjukkan, menjadi wajar terjadi kecanggungan. ”Kalau ada yang enggak suka, gak apa-apa,” katanya.

Ali Efendi (30), salah satu penonton, mengaku awalnya sempat bingung. Pementasan ini di luar ekspektasinya karena di awal membayangkan akan menonton teater seperti biasa. ”Menarik, sih, sebetulnya. Mereka (pemain) lebih dekat kepada penonton dengan cara bertanya langsung. Jadi, cerita datang dari penonton. Mereka hanya jadi medium,” katanya.

Medium arsip

Arsip foto di Nyoo Studio di Kalisat menjadi medium dalam menampilkan teater. Studio foto legendaris ini dipilih karena memiliki ribuan arsip tak berkategori. Arsip-arsip tanpa data tersebut dibiarkan saja bertumpuk di sejumlah sudut studio. Ada sekitar 29 ribuan arsip Nyoo Studio yang ditampilkan.

Ridho menjelaskan, melalui pementasan Passport, Passphoto, Rokateater mengajak penonton untuk membuat pas foto yang tidak fungsional. Foto yang tidak dibawa pulang akan menjadi arsip tak berkategori Nyoo Studio dan tidak bisa terlacak.

Arsip foto Nyoo Studio yang ditampilkan pada pementasan Passport, Passphoto dari Rokateater (Yogyakarta) di Jakarta, Jumat (21/9/2018).

Menurut Ridho, ini bentuk gerakan resistensi kecil-kecilan terhadap negara. Pas foto pada mulanya adalah salah satu bentuk kontrol dan pengawasan negara supaya masyarakat dikenali. Selama ini, pas foto dibuat untuk kebutuhan administrasi dan masyarakat tidak pernah mempertanyakan data mereka dipergunakan untuk tujuan apa.

”Melalui pertunjukan ini, kita melakukan resistensi melalui arsip-arsip yang dihilangkan datanya. Kalau data itu dikacaukan, kita berada di luar radar kekuasaan. Bagaimana identitas seseorang menjadi domainnya sendiri. Melawan kontrol identitas kita yang dilakukan oleh negara,” ujarnya.

Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta Afrizal Malna mengatakan, Djakarta Teater Platform memang digagas sebagai sebuah eksperimentasi kuratorial teater. Platform ini digunakan untuk memetakan gagasan apa yang sedang bergerak di dunia masa kini.

”Jadi, kita tidak memproduksi gagasan, tetapi ingin memetakan gagasan apa yang bergerak. Karena itu, muncul (pementasan) yang seperti ini di Djakarta Teater Platform,” ujarnya.

Afrizal menambahkan, hadirnya konsep pementasan ini tidak bertujuan mengatakan pementasan konvensional ketinggalan zaman. Djakarta Teater Platform justru menjaga keberagaman.

”Kita ingin membiarkan bagaimana yang sebelumnya ikut berkontribusi pada yang sekarang. Atau kerasnya, ikut bersaing juga dengan dunia yang sudah berubah ini. Bisa bertahan atau tidak?” ujarnya.

Nyoo Studio cabang Jakarta tutup pukul 21.00. Lima belas menit menjelang tutup, pendaftaran pelanggan dihentikan untuk menuntaskan antrean. Mereka berhasil mendapatkan 390 pengunjung pada hari pertama dan terakhir buka cabang di Jakarta. (YOLA SASTRA)

Catatan:
1) Foto dan video dalam postingan ini diambil oleh Yola Sastra (KOMPAS)
2) Tulisan ini diambil dari laman https://kompas.id/baca/utama/2018/09/22/passport-passphoto-menghapus-batas-pemain-dan-penonton/ (terbit tanggal 22 September 2018 dengan judul “Passport, Passphoto Menghapus Batas Pemain dan Penonton”) dengan sedikit perbaikan ‘data’ yang keliru.