Mulai tanggal 1 s/d 9 Juli 2019, bertempat di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, rokateater terlibat dalam sebuah pameran fotografi bertema ‘Identitas’ yang diinisiasi oleh Jakarta International Photo Festival (JIPFest). Karya kami yang berjudul “Nyoo Studio: An Arbitrary Archive” terpilih sebagai salah satu peserta yang terjaring dalam proses panggilan terbuka. Karya yang sebelumnya dipentaskan dalam pertunjukan teater berjudul “Passport, Passphoto” tersebut berpijak pada hasil riset kami atas arsip foto di Nyoo Studio, salah satu studio foto tua di Jember.
——————– Jakarta International Photo Festival (JIPFest) 2019 mengumumkan karya-karya terpilih hasil proses undangan terbuka yang bergulir dari 10 Januari-10 Maret 2019. Proses seleksi oleh Tim Kurator JIPFest 2019 didasarkan pada kriteria utama bahwa karya harus sesuai dengan tema festival, IDENTITAS. Kami berharap karya-karya fotografi dan multimedia terpilih mewakili kemajemukan dan keunikan cara pandang atas tema identitas, dalam ranah sosial maupun personal, serta keragaman pendekatan visual, termasuk fotografi dokumenter, foto jurnalistik, serta proyek seni. “Preseden ‘open call’ yang diterapkan menjadi khas dalam penyelenggaraan JIPFest 2019. Di bawah pemahaman tentang tema ‘identitas,’ muncul pelbagai proposal dan karya yang tidak terduga, baik dari dalam maupun luar negeri,” kata Firman Ichsan, Head Curator. Dari total 299 karya buatan 255 fotografer/seniman/kolektif dari 31 negara, karya yang terpilih dibuat oleh:
1. Agoes Rudianto, Indonesia 2. Ajeng Dinar Ulfiana, Indonesia 3. Albertus Vembrianto, Indonesia 4. Andri Ginting, Indonesia 5. Anggi Anggoman, Indonesia 6. Asep Saepuloh, Indonesia 7. Bertha Wang, Hong Kong 8. Elisabetta Zavoli, Italia 9. Feri Latief, Indonesia 10. Florencia Trincheri, Argentina 11. Habiba Nowrose, Bangladesh 12. Harikrishna Katragadda & Shweta Upadhyay, India 13. Herka Yanis Pangaribowo, Indonesia 14. Ilias Georgiadis, Yunani 15. Irina Unruh, Jerman 16. Iris Oppelaar, Belanda 17. Jack Lewis, Inggris 18. Juan Herbert Girsang, Indonesia 19. Junya Suzuki, Jepang 20. Kurniadi Widodo, Indonesia 21. Lukas Birk, Austria 22. Maheder Haileselassie Tadese, Ethiopia 23. Muhammad Fadli, Indonesia 24. Nick Tarasov, Rusia 25. Raoof Dashti, Iran 26. Rokateater, Indonesia 27. Rony Zakaria, Indonesia 28. Rosa Panggabean, Indonesia 29. Santanu Dey, India 30. Schmoo Theune & Susann Tischendorf, Jerman 31. Schore Mehrdju, Jerman 32. Silvestre Pires Castro, Timor Leste 33. Swarat Ghosh, India 34. Tim Franco, Prancis 35. Toto Santiko Budi, Indonesia 36. Ulet Ifansasti, Indonesia
——————– (teks kuratorial)
Identitas adalah rumusan yang kompleks. Ia berada di perbatasan yang tipis antara wacana, harapan, dan realitas. Darinya muncul gesekan, perlawanan, juga perubahan—dalam arti yang positif dan negatif.
Pada mulanya, konstruksi. Identitas acap dianggap sebagai seperangkat rumusan baku yang menjelaskan apa dan siapa kita. Dalam konteks negara-bangsa, presentasi harfiahnya tersaji dalam World Expo, Miss Universe, atau Venice Architecture Biennale, di mana tiap delegasi mengusung atribut atau konsep yang mewakili identitas negaranya.
Tapi konstruksi itu kerap lebih berupa wacana atau stereotip, yang mewakili harapan dan luput menangkap realitas kontemporer. Tiap satuan identitas tidak pernah sepenuhnya homogen. Indonesia tidak cukup diwakili oleh blangkon atau keris, sebagaimana Belanda tidak memadai diwakili oleh kincir angin dan keju. Satu kelemahan identitas adalah kegagalannya menyertakan variabel perbedaan. Adorno menyebutnya “non-identitas.”
Penting dipahami, identitas tidak pernah final. Ia senantiasa dirongrong dan digugat. Pertama, oleh waktu. Satu contoh: dalam On the Subject of Java, John Pemberton menelaah tajam dari mana identitas “Jawa” berasal. Kata ini sekarang bermasalah, karena memang hanya relevan di masa lalu. Belanda memakainya untuk merujuk hanya pada Surakarta dan Yogyakarta. Tapi khalayak kini memandang Jawa merangkum semuanya, termasuk Osing, Tegal, dan Banyumas, yang sesungguhnya memiliki tradisi yang berbeda, bahasa yang berbeda, juga lakon wayang yang berbeda. Identitas kadang merupakan buah kekeliruan sejarah.
Gugatan kedua terhadap identitas datang dari migrasi: orang berpindah dan identitas pun berubah. Cina-Amerika keturunan generasi buruh rel abad ke-19 tak mungkin ditempatkan di bawah satu payung besar identitas “Cina” bersama para kerabat jauhnya di Tiongkok Daratan. Kasus serupa berlaku bagi warga berdarah Tamil di Medan atau generasi kyopo (diaspora Korea) di Eropa dan Amerika. Akibat migrasi, identitas “Timur” dan “Barat” kehilangan pijakannya. Dengan itu, kita pun harus menafsirkan ulang teori klasik Benturan Peradaban dari Huntington.
Penggugat terakhir bagi rumusan identitas adalah globalisasi. Runtuhnya batas-batas negara dan proliferasi teknologi komunikasi menjadikan identitas semacam forum terbuka yang luwes merangkul pengikut. LGBT, grup radikal, bahkan milenial, masing-masingnya merasa menjadi bagian dari identitas yang tunggal walau tak saling mengenal dan terpisah jauh secara lahiriah. Mereka memiliki ekspresi, atribut, dan perangai yang sama. Berkat globalisasi, minoritas tak selamanya mewakili suara minor.
Identitas bukanlah persoalan usang. Alih-alih, tema ini justru kian relevan sekarang. Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan betapa identitas adalah perdebatan yang belum rampung. Untuk menyebut dua contoh: kebangkitan kubu politik kanan-baru dan kekerasan rasial.
Identitas jugalah tema yang relevan bagi Indonesia. Dengan lebih dari 700 bahasa dan 300 grup etnis, ditambah enam agama resmi dan 187 aliran kepercayaan, negara kepulauan terbesar ini juga merupakan salah satu negara dengan diversitas tertinggi di dunia. Di 17.000 pulau di Nusantara, identitas dibentuk dan dirombak, melalui penjajahan dan modernisasi, isolasi dan kontak, juga urbanisasi dan bencana alam. Di Indonesia, identitas adalah rumusan multilapis yang selalu berubah dan bergeser.
Dengan mengusung tema identitas, JIPFest ingin mengeksplorasi konstruksi sosial yang membentuk siapa kita dan bagaimana kita berperilaku. Fotografer memiliki keleluasaan untuk menentukan sudut narasi visual. JIPFest berharap bisa melihat karya-karya yang memperlihatkan bagaimana identitas mengejawantah di beragam bidang, misalnya mode busana, tren arsitektur, dan kuliner. Dengan kata lain, identitas sebagai sumber ekspresi kultural, ilham bagi kreativitas, tafsir sosial, atau barangkali dialektika antara pikiran dan keadaan. (“Aku beridentitas, maka aku ada.”)
Selain itu, JIPFest ingin melihat pula karya-karya yang mengkritisi problem-problem yang lahir dari konstruksi identitas. Dalam konteks ini, fotografer bisa membedah identitas sebagai buah klasifikasi biologis, warisan kolonialisme, upaya preservasi, atau amunisi politik untuk menggoyang kekuasaan atau menindas mereka yang berbeda. Isu semacam kaum minoritas, suku terisolasi, serta ras dan gender akan menjadi sorotan JIPFest.